Politik Anggaran untuk Mengentaskan Kemiskinan
Hingga kini kemiskinan masih menjadi masalah utama yang melilit sebagian rakyat di republik ini. Biro Pusat Statistik (BPS) melaporkan jumlah penduduk miskin di tahun 2008 hampir mencapai 35 juta (15 persen), sama dengan posisi tahun 2005, atau turun sekitar 6 persen dan tahun 2007. Mengingat kemiskinan merupakan masalah multidimensi, kemiskinan konsumsi saja tidak akan mampu menjelaskan permasalahan kemiskinan yang sebenarnya, dan dalam konteks ini jumlah penduduk miskin sebenarnya lebih besar dan data tersebut.
World Bank menyatakan bahwa persoalan kemiskinan berkaitan dengan ide politik dan sosial yang merefleksikan harapan-harapan dan aspirasi masyarakat. Misalnya, jika masyarakat seharusnya mampu mencukupi kebutuhan pangan, memberikan pendidikan yang layak pada anak-anak, mendapatkan pelayanan kesehatan, serta mempunyai pekerjaan, maka bila sebagian masyarakat tidak mampu melakukan hal tersebut atau tidak mendapatkan pelayanan yang selayaknya mereka dapatkan, kondisi ini menunjukkan adanya kemiskinan. Juga, jika semua masyarakat seharusnya mampu berpartisipasi dalam kehidupan sosial masyarakat, tetapi jika sebagian di antaranya tidak dapat atau tidak diikutsertakan, maka hal ini menunjukkan pula adanya kemiskinan. Singkatnya, kemiskinan adalah kondisi tidak tercapainya suatu standar kehidupan yang dianggap layak oleh masyarakat, sehingga perlu dihapuskan.
Sejalan dengan pengertian tersebut, Strategi Nasional Penanggulangan Kemiskinan (SNPK), mendefinisikan kemiskinan sebagai kondisi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, yang tidak terpenuhi hak-hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan yang bermartabat. Definisi kemiskinan ini beranjak dari pendekatan berbasis hak yang mengakui bahwa masyarakat miskin, baik laki-laki maupun perempuan, mempunyai hak-hak dasar yang sama dengan anggota masyarakat lainnya. Kemiskinan tidak lagi dipahami hanya sebatas ketidakmampuan ekonomi, tetapi juga kegagalan pemenuhan hak-hak dasar dan perbedaan perlakuan bagi seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, dalam menjalani kehidupan secara bermartabat. Definisi ini menggariskan bahwa kemiskinan sebenarnya merupakan suatu peristiwa penolakan dan tidak terpenuhinya hak, serta adanya pengakuan bahwa orang miskin terpaksa menjalani kemiskinan dan seringkali mengalami pelanggaran hak yang dapat merendahkan martabatnya sebagai manusia. Oleh karena itu, konsep ini memberikan penegasan terhadap kewajiban negara untuk menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak dasar masyarakat miskin.
Optimalisasi Anggaran untuk Daerah
Namun, jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kini politik anggaran kita setidaknya mengalami selangkah lebih maju (one step ahead). Hal ini salah satunya dapat dilihat dan political will pemerintah dan DPR untuk mengalokasikan belanja transfer ke daerah lebih besar. Dalam APBN tahun 2009, dana transfer ke daerah mencapai 60 persen. Hal ini urgen dilakukan untuk mendorong pertumbuhan dan pemerataan pembangunan di daerah. Dana transfer ke daerah antara lain berupa Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). Selanjutnya, sejak tahun 2002, juga diberikan transfer dalam bentuk Dana Otonomi Khusus dan Dana Penyesuaian.
Sebagaimana diketahui, penguatan komitmen politik anggaran daerah setidaknya dicerminkan oleh beberapa indikator sebagai berikut, pertama, secara bertahap porsi anggaran pembangunan daerah haruslah meningkat dalam APBN dengan tingkat idealitas pada titik 65 % untuk daerah dan 35 % untuk pusat. Kedua, adanya pemerataan pembangunan yang berdimensi kewilayahan, terutama percepatan pembangunan di Kawasan Timur
Ketiga, alokasi anggaran nasional yang diarahkan untuk pengembangan pertumbuhan ekonomi pada tingkat grass root di kecamatan dan desa. Sehingga akan menjadi trigger bagi munculnya pusat-pusat pertumbuhan ekonomi masyarakat. Fokus pembangunan bisa diarahkan pada: (a) Pembangunan sarana dan prasarana; (b) Pembangunan sistem agribisnis; (c) Pengembangan industri kecil dan rumah tangga; (d) Penguasaan teknologi tepat guna; (e) Penguatan kelembagaan ekonomi masyarakat dan pengelolaan pemerintahan desa yang baik; (f) Penyediaan akses pemasaran dan pengembangan jaringan produksi; serta (g) Pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam yang berkelanjutan.
Keempat, dorongan untuk melakukan investasi yang dipusatkan di daerah, di tingkat Provinsi maupun Kabupaten/Kota. Investasi di daerah sangatlah penting dalam rangka memicu pertumbuhan ekonomi masyarakat. Sedikitnya investasi itu akan membawa dampak positif bagi daerah dalam hal: pembukaan lapangan kerja sehingga bisa menurunkan angka penggangguran, meningkatkan pendapatan masyarakat sehingga mampu mengurangi angka kemiskinan, serta berkontribusi pula dalam menurunkan laju urbanisasi karena dengan investasi pada akhirnya daerah memiliki magnitude tersendiri guna mendorong pelaku ekonomi dan masyarakat untuk berkiprah membangun daerahnya.
Kebijakan tersebut dimaksudkan untuk mendorong percepatan ekonomi di level lokal agar dapat memungkinkan kebijakan pengentasan kemiskinan lebih efektif. Inilah salah satu bentuk politik anggaran untuk menciptakan penganggaran publik yang pro-poor. Politik anggaran yang berpihak pada kaum miskin akan menggeser orientasi anggaran dan stabilitas moneter ke arah ekspansi fiskal bagi pengurangan kemiskinan. Politik anggaran ini akan berpihak pada perluasan belanja sosial yang akan menjadi benchmark bagi daerah-daerah otonom di tingkat lokal. Pro poor budget, dengan demikian, tidak akan dimaknai sebagai “alokasi karitatif sebagian (kecil) anggaran untuk kelompok miskin” seperti yang terjadi dalam program transfer tunai yang tengah berlangsung. Alih-alih, pro poor budget akan berkonotasi pada perluasan alokasi anggaran untuk investasi yang memungkinkan warga negara untuk keluar dari kemiskinan. Investasi pendidikan, kesehatan, jaminan sosial serta penciptaan daya kerja akan menjadi ujung tombak utama dalam politik anggaran ini.
By: Jhonson A. Sutanto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar