3.14.2009

KAPITALISME KEKINIAN

By: Jhonson A. Sutanto

Krisis finansial saat ini menyingkap gejala awal dari perubahan sosio-ekonomik yang penting, dan bahkan mungkin revolusioner, dalam dunia. Banyak sudah yang mengatakan bahwa, setelah keruntuhan Tembok Berlin, kapitalisme akan menutupi sosialisme; dan di antara kalangan intelektual banyak dikumandangkan tentang "berakhirnya sejarah". Tidaklah mengejutkan, lebih sedikit yang menyatakan bahwa meskipun sosialisme sedang sekarat di Eropa, ia juga sedang tumbuh subur di Amerika Latin. Pada 1989, serangkaian peristiwa yang dikenal sebagai "El Caracazo" mengacu pada serangkaian protes penting di Venezuela yang menentang neoliberalisme dan "Konsensus Washington" yang bertujuan mengurangi peran Negara dalam ekonomi. Terpilihnya Hugo Chavez pada 1998 bukan saja merupakan reaksi dari kebencian rakyat dan kegagalan neoliberalisme, tapi juga disebabkan oleh represi keras menyusul rangkaian protes tersebut.

Mimpi Smith akan kemakmuran universal diisi dengan dua poin penting yakni bahwa tiap manusia memiliki sentimen mementingkan diri sendiri (self-interest) sekaligus sentimen bergabung dengan masyarakatnya (fellow feeling). Smith begitu yakin bahwa tabiat menahan diri (self-restraint) dapat tumbuh subur dalam suatu masyarakat yang memberi peluang besar bagi setiap orang untuk mengejar kepentingan diri sendiri (pure self-interest). Konsep inilah yang lantas dikenal dengan teori tangan tak tampak (the Invisible Hand). Melalui dua magnum opusnya, The Theory of Moral Sentiments dan The Wealth of Nation, Smith bertumpu pada dua asumsi dasar yang murni sosiologis. Yang pertama, kehidupan manusia terjalin dalam ikatan sosial. Yang kedua, ikatan sosial tersebut mengambil bentuk dan susunan yang khusus bila menyangkut tukar-menukar barang keperluan hidup (ekonomi). Namun, dalam perkembangan selanjutnya ada syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh keduanya agar dapat memberikan kemakmuran.

Namun, di sisi lain , Karl Marx (1818-1883) yang seorang filosof menyerang sistem ekonomi (corak produksi) kapitalis atau kapitalisme. Bagi Marx, kapitalisme adalah sistem ekonomi yang mementingkan akumulasi modal melalui penciptaan nilai-lebih yang dihasilkan oleh sarana produksi dan tenaga kerja yang dikuasai sepenuhnya oleh satu atau beberapa orang. Marx melihat bahwa tenaga kerja adalah modal yang diobyektifikasi namun si pekerja tidak menyadari itu sepenuhnya kecuali hanya menganggapnya sebagai sesuatu yang lumrah. Di sinilah terjadi apa yang disebut eksploitasi. Marx menulis, “Si pekerja adalah manifestasi subjektif dari kenyataan bahwa modal adalah manusia yang sepenuhnya hilang bagi dirinya sendiri, tepat sebagaimana modal adalah manifestasi objektif dari kenyataan bahwa kerja adalah manusia yang hilang bagi dirinya sendiri. Tetapi kemalangan si pekerja adalah bahwa dirinya adalah suatu modal yang hidup, dan karenanya suatu modal dengan kebutuhan-kebutuhan modal kehilangan bunganya, dan karena itu kehidupannya, setiap saat ia tidak bekerja”.

Kredo Kapitalisme Klasik VS Kapitalisme Mutakhir

Dalam pandangan Mazhab Frankfurt, borjuasi modern Amerika telah berhasil menggunakan rasio instrumental (istilah mazhab Frankfurt) untuk melenyapkan krisis internal di dalam tubuh kapitalisme sebagaimana yang pernah diramalkan Marx. Kenyataan ini juga menyangkut soal modifikasi-diri kapitalisme atau dalam kalimat lain, kemampuan adaptif kapitalisme sehingga ia tak lekang oleh perkembangan ruang dan waktu. Ironisnya, demikian pandangan Mazhab Frankfurt, kelas pekerja atau buruh yang bertindak sebagai agen revolusi dalam logika Marx dan para penganut paham marxisme lainnya, kelas yang diharapkan bisa menggulingkan kekuasaan kapitalisme, justru telah terintegrasi dengan sendirinya ke dalam sistem kapitalisme itu sendiri secara sukarela. Mengapa ini bisa terjadi? Menurut Mazhab Frankfurt, hal itu disebabkan karena kapitalisme mampu mempertahankan kontinuitas keberadaannya melalui penciptaaan budaya konsumerisme. Kemampuan untuk menciptakan budaya konsumerisme disebabkan oleh kelihaian agen-agen kapitalis itu dalam menerapkan rasio instrumental. Dengan menerapkan kemampuan rasio instrumental, kapitalisme pasca industrial mampu menciptakan rasio penyeragaman dan pembendaan kesadaran manusia dengan cara menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu. Rasio instrumental adalah rasio yang memandang realitas sebagai potensi yang dapat dimanipulasi, ditundukkan, dan dikuasai secara total.

Bila dalam teori Adam Smith, pasar bebas merupakan kondisi di mana setiap orang mengabdi pada kepentingan diri sendiri, akan mendatangkan keuntungan bagi semua. Marginal Economics, justru mengganggap pasar bebas sebagai tempat individu maupun perusahaan memajukan kepentingan sendiri. Dan, hal ini akan menuntun individu dan perusahaan tersebut ke arah alokasi sumber daya secara optimal. Teori marjinal melekat dengan rumusan Leon Walras dan Vilfredo Pareto, di mana terdapat dua dalil pokok dalam model tersebut. Yang pertama, dalam pasar bebas competitive equilibrium akan menghasilkan efisiensi yang sangat tinggi. Dimana, supply dan demand akan berada pada posisi yang sama. Yang kedua, dalam keseimbangan seperti ini, tiap upaya yang menguntungkan individu maupun perusahaan akan merugikan perorangan maupun perusahaan lain. Kondisi inilah yang kemudian dikenal dengan pareto optimum.

Mimpi Keseimbangan: Kontradiksi Angan Dan Realita

Dalam banyak hal, terdapat kontradiksi dalam penerapan metode ekonomi mutakhir dengan konsepsi kapitalisme itu sendiri. Menurut ilmu ekonomi ortodoks, perekonomian dunia berisi perusahaan kecil yang continuum, di mana tak ada satu perusahaan pun yang mampu memengaruhi pasar. Sayangnya, kondisi di lapangan berkata lain, dunia perekonomian justru dikendalikan oleh perusahaan-perusahaan besar. Dalil ekonomi klasik telah termentahkan oleh kondisi dunia empiris. Target rasionalitas ditafsirkan menjadi, sukses dan untung yang mengabaikan kepentingan orang lain. Kebebasan pun diletakkan dalam konteks pasar bebas yang indiferen terhadap mereka yang lemah. Keran-keran untuk memeroleh hak atas kesetaraan untuk barang dan partisipasi dalam keputusan sosial-ekonomi yang telah sedemikian terbatas. Dan sayangnya, hilangnya akses tersebut justru disebabkan oleh modal itu sendiri.

Jika kita mencermati konsep alienasi yang dirumuskan Marx pada periode kapitalisme klasik (awal), sesungguhnya alienasi itu kini tertransformasi ke dalam diri manusia hampir secara umum. Alienasi yang terjadi kini adalah, bahwa konsumerisme telah mengalihkan kesadaran manusia dari kesadarannya yang sebenarnya. Dalam konteks ini, alienasi Marx masih relevan adanya meksipun pengertiannya sedikit bergeser. Artinya, alienasi dalam konteks kapitalisme mutakhir adalah sebentuk kesadaran (akan) kebendaan. Kesadaran kebendaan tiada lain kecuali itu dihasilkan dari kebutuhan-kebutuhan palsu, Dengan kata lain, kapitalisme mutakhir menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu yang divisualisasikan melalui imej-imej, sehingga kesadaran manusia yang sebenarnya. Akhir kata, konsep kapitalisme kekinian yang telah menyimpang jauh dari esensi awalnya, membawa konsekuensi logis yang tidak terperi dalam peradaban manusia beberapa dekade terakhir.

Sehingga kapitalisme dalam konteks kekinian lebih menitik beratkan pada cara hidup yang konsumerisme. Dimana, orang kaya akan tetap menjadi kaya dan mungkin akan bertambah kaya, dan orang miskin akan bertambah miskin dan mungkin akan semakin melarat. Dengan kata lain, kapitalisme hanya akan menjadi duri dalam daging, dan lebih ganas lagi seperti racun bagi orang yang kurang mampu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar